Sekapur Sirih

Bismillahirahmanirrahim,
Assalamualaikum wr wb,

Dengan Bismillah membuka kata
Menyampaikan niat kami yang ada
Jika mendapat ridho Yang Kuasa
Hendak belajar berkata - kata

Saya jemput tuan dan puan
Beserta segala sanak saudara
Kiranya sudi keblog yg ada
Memberi restu beserta doa

Cari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cari olehmu akan guru
Yang boleh taukan tiap seteru

Cari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan

(Gurindam Dua Belas pasal keenam)

Salam sejahtera buat semua tuan dan puan, selamat datang di blog pribadi kami,mohon kritik dan saran karna masih dalam pembelajaran, mari berbagi pengalaman diberbagai hal, kecil telapak tangan nyiru kami tadahkan....

Wassalam

Memburu “Harta Karun Bajak Laut” di Natuna


Sebuah fosil hewan laut purba ditemukan oleh seorang warga asal Natuna. Ia juga menemukan ratusan keping keramik kuno peninggalan Cina. Perburuan “harta Karun” menjadi lading bisnis yang menggiurkan penduduk setempat.
Rezeki memang bisa datang dari mana saja. Pepatah itu mungkin cocok untuk menggambarkan kehidupan Zaharudin sekarang. Kehidupan pria asal Ranai, Natuna ini berubah drastis hanya karena fosil hewan laut purba.Ketika Saya mengunjungi kediamannya awal September 2008 lalu, Zaharudin menunjukan deretan tulang belulang yang tersusun rapih di samping pekarangan rumahnya. “Ini adalah fosil Gajah Laut purba,” katanya menjelaskan. Luar biasa ! Panjangnya mencapai 12 meter.

Fosil ini ditemukan olehnya tanpa sengaja beberapa tahun silam di salah satu pantai sebuah pulau di kawasan Natuna. Walaupun belum ada arkeolog yang datang untuk meneliti apakah tulang-tulang itu merupakan fosil purba, namun yang jelas fosil itu telah merubah kehidupannya. “Ada dua rangkaian fosil yang saya temukan,” jelasnya. Salah satunya telah dibeli oleh seorang kolektor asal luar negeri dengan harga lebih dari setengah miliar. Dengan uang tersebut Zaharudin bisa membeli sebidang tanah dan membangun rumah yang cukup besar. Padahal jauh sebelum itu, Zaharudin mengaku hidup serba kesulitan. Sebagai karyawan swasta perusahaan kecil, pendapatan yang ia terima setiap bulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Bahkan kami seringkali kekurangan,” kenangnya. Kini, ia memutuskan keluar dari pekerjaan dan sibuk dengan aktivitas barunya. Berburu Harta Karun !. Bukan omong kosong, dirumah barunya yang juga digunakan sebagai ruang pameran, banyak dipajang benda-benda antik. “Benda-benda ini merupakan hasil kerja keras saya memburu harta karun di beberapa pulau di Natuna,” jelasnya. Ada meriam kuno peninggalan Belanda dan ratusan keramik asal Cina. Lalu bagaimana Zaharudin memburu harta karun tersebut ?Ini adalah kunjungan saya kedua ke Natuna. Dengan waktu yang sedikit banyak --kunjungan pertama saya sekitar pertengahan tahun 2006 tergolong singkat karena hanya dua hari sedangkan yang kali ini saya punya waktu hampir satu minggu-- saya terobsesi sekali dengan dengan cerita ZaharudinTernyata ia menelusuri sebuah cerita rakyat yang berkembang di tempatnya. Konon dulu ada sebuah daerah pantai yang seringkali menjadi tempat pendaratan kapal-kapal perompak yang melintas. Saya mahfum dengan bagian cerita ini mengingat Natuna berada di Laut Cina Selatan yang hingga kini terkenal sebagai perairan yang marak dengan aksi illegal fishing (penangkapan ikan ilegal). “Mereka (perompak) diceritakan seringkali singgah di sebuah pantai untuk mengisi perbekalan sebelum melanjutkan pelayarannya,” lanjut Zaharuddin.Tanpa ragu, Saya pun lalu menelusuri daerah yang dimaksud olehnya. Namanya Desa Cemaga, jaraknya sekitar 50 kilometer dari pusat kota Natuna. Lebih dekat dengan pusat aktivitas perusahaan Conoco Philips. Jarak yang saya tempuh dengan mobil hampir dua jam dari Ranai, pusat kota Natuna sendiri.Sepanjang perjalanan bisa dikatakan hanya satu atau dua kendaraan saja yang berpapasan. Selebihnya saya seperti menembus belantara hutan rimba dan deretan bukit-bukit tak berpenghuni. Kadang di beberapa titik tertentu memang ditemui pemukiman penduduk. Namun jumlahnya tak banyak. Jarak antar pemukiman pun seringkali terpaut jauh.Awan mendung menggelayut sepanjang perjalanan itu. Saya berdoa agar hujan tak segera turun. Mengingat rute yang saya tempuh sedikit mengkhawatirkan. Kadang harus menaiki tanjakan dan turunan curam, kadang harus berkelak-kelok dalam tikungan yang tajam. Harapan itu ada ketika saya perhatikan di kejauhan semburat puncak Gunung Ranai yang tertutup awan putih dengan langit yang membiru. Hujan tak akan turun.Sampai di tujuan, Saya dihantarkan untuk menemui Zaidah, tokoh masyarakat desa setempat. Umurnya saya taksir sekitar 60-an dengan tinggi tak lebih dari 165 centimeter. Kami berpapasan di jalan, ketika ia sedang melaju di atas sepeda motor bebeknya. Setelah menghabiskan waktu berbincang-bincang kurang dari satu jam di sekitar kediamannya, Zaidah lalu mengajak saya menuju tempat yang dimaksud oleh Zaharudin.Kami memasuki pekarangan yang dipenuhi dengan rerimbunan pepohonan kelapa. Mobil yang saya tumpangi tak bisa masuk lebih jauh hingga perjalanan akhirnya dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan, Zaidah menunjukan beberapa tonggak kayu yang berdiri tegak. Dingin berlumut. “Ini adalah tapal batas jalan yang sudah ada sejak masa Belanda,” kata Zaidah. Saya bergerajk mendekat mencoba untuk mencari sebuah tanda yang biasanya tergores pada benda-benda peninggalan Belanda. Tak bisa, kayu itu terlalu lapuk untuk dilihat. Kemudian kami masuk lebih dalam.“Betul, menurut legenda daerah ini seringkali dijadikan tempat persinggahan perompak,” ujarnya. Ketika perompak datang maka penduduk setempat akan mengubur harta-harta miliknya di suatu tempat dan bersembunyi di atas sebuah batu yang tingginya mencapai 10 meter hingga tak bisa dijangkau oleh perompak. Ketika dari kejauhan terlihat kapal perompak datang, maka salah seorang penduduk akan menabuh genderang yang ada di puncak batu lalu dengan serta merta para penduduk akan menyembunyikan hartanya dan lari menaiki puncak batu.Zaidah lalu menunjukan batu yang dimaksud. Batu itu berbentuk setengah bulat dengan diameter kira-kira 5 m dan tinggi hampir 10 m. Saya sempat ternganga melihat batu sebesar itu. Warnanya hitam legam dengan beberapa bagian yang sudah berlumut. Di sekitar tempat inilah konon keramik-keramik kuno asal Cina tersebut banyak ditemukan.Zaidah lalu bercerita jika para perompak pernah berusaha meruntuhkan batu tersebut agar para penduduk turun. Ia menunjukan pada saya beberapa guratan yang menurutnya bekas sabetan senjata para perompak tersebut. Sulit memang untuk dibuktikan kebenarannya dan butuh penelitian lebih lanjut. Namun ternyata keberhasilan Zaharuddin menggali ratusan harta karun telah membuka mata penduduk lainnya untuk ikut berburu.Perjalanan kami akhiri dengan singgah di Pantai Kasak. “Kasak berarti Cantik”, kata Zaidah. Dan pantai itu memang benar-benar cantik meskipun sore sudah menjelang. Lembayung senja di ufuk barat sudah menenggelamkan mentari. Kami duduk menikmati keindahan pantai yang menghadap ke timur. Batu-batu granit besar berserakan di sepanjang bibir pantai hingga ke menjorok ke tengah laut. Persis seperti yang tergambar di pantai-pantai Bangka, Belitung dan pantai-pantai lain di Gugusan kepulauan Riau. Ada tanya yang selalu menganggu pikiran saya. Dari mana batu-batu besar itu berasal.http://kamarweeko.at.ua/

15 Januari 2009 Kategori: oleh: Granat Natuna :  

0 komentar:






Tragedi Laut Serasan