UPAYA desainer Lia Mustafa membukukan motif tradisional Natuna patut diacungi jempol. Pasalnya, tak kurang dari 50 motif tikar yang selama ini ada di sana rupanya tidak banyak dikenal masyarakat Indonesia.
"Sebenarnya di Natuna itu banyak sekali memiliki motif-motif tikar. Hanya yang terdokumentasi baru 50 jenis," kata Lia yang ditemui okezone di Hotel Four Jakarta, baru-baru ini.
Lia menceritakan ide pertama kali pembuatan "Buku Tikar" diawali ketika dirinya mencari tahu motif tradisional Natuna yang dapat diangkat dan dijadikan ide dalam kain. Namun, setelah tiga kali kunjungan sejak Desember 2006 di Ranai Natuna itu, Lia kesulitan mendapatkan kain tradisional Natuna.
"Dari sanalah saya mengkomunikasikan hal tersebut dengan Ibu Ngesti Daeng Rusnadi sebagai Ketua Dekranasda Kabupaten Natuna. Dari pembicaraan kami, akhirnya saya tahu bahwa di Natuna itu sangat kaya potensi tikar Natuna," katanya.
Setelah pertemuan itu, Lia dan tim akhirnya melakukan survei guna pendokumentasian motif tikar Natuna yang ada sekaligus upaya mensosialisasikan hasil kepada jajaran eksekutif Pemerintah Daerah natuna dalam bentuk presentasi mengangkat potensi tikar Natuna menuju pelestarian hasil karya anak bangsa dan perlindungan hukum.
Menurut Lia, untuk bisa mengumpulkan motif-motif tikar itu dirinya perlu menghabiskan waktu tiga minggu. Selama itu, desainer asal Yogyakarta ini harus mendatangi satu pengrajin ke pengrajin lainnya yang ditempuhnya dengan transportasi perahu.
"Saya juga mendatangi masyarakat setempat yang diyakini masih menyimpan tikar dengan motif-motif yang langka," cerita wanita kelahiran Bandung, 21 Juli 1964.
Desainer yang kini bergabung dengan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini mengakui, upaya yang dilakukannya untuk membukukan motif-motif tikar dari Natuna itu adalah sebagai bentuk keprihatinannya terhadap suatu produk asli Indonesia.
"Tujuan saya membuat buku adalah ingin membantu mempatenkan produk tradisional yang sudah ratusan tahun dimiliki masyarakat Natuna. Jangan sampai kita keduluan lagi dengan negara tetangga, karena selama ini tikar Natuna sudah banyak ?dikonsumsi' Malaysia," jelas Lia yang berencana akan memperkenalkan buku berjudul "Motif Tikar" secara resmi pada Mei mendatang.
Peraih Citra Kartini Award (2001) ini menjelaskan, tikar yang dijual oleh masyarakat Natuna adalah tikar-tikar yang terbuat dari tanaman pandan. Dan biasanya, pandan yang sering digunakan adalah pandan yang berjenis berduri mengkilap, yang mana tanaman ini banyak didapatkan di daerah Serasan.
"Di Natuna sendiri ada tiga jenis padan. Pandan berduri, pandan tidak berduri, dan pandan berduri mengkilap. Yang sering dipakai memang pandan berduri mengkilap, namun jenis pandan berduri dan pandan tidak berduri juga dipakai dalam pembuatan tikar, namun jumlahnya tidak begitu banyak," tutupnya.
"Sebenarnya di Natuna itu banyak sekali memiliki motif-motif tikar. Hanya yang terdokumentasi baru 50 jenis," kata Lia yang ditemui okezone di Hotel Four Jakarta, baru-baru ini.
Lia menceritakan ide pertama kali pembuatan "Buku Tikar" diawali ketika dirinya mencari tahu motif tradisional Natuna yang dapat diangkat dan dijadikan ide dalam kain. Namun, setelah tiga kali kunjungan sejak Desember 2006 di Ranai Natuna itu, Lia kesulitan mendapatkan kain tradisional Natuna.
"Dari sanalah saya mengkomunikasikan hal tersebut dengan Ibu Ngesti Daeng Rusnadi sebagai Ketua Dekranasda Kabupaten Natuna. Dari pembicaraan kami, akhirnya saya tahu bahwa di Natuna itu sangat kaya potensi tikar Natuna," katanya.
Setelah pertemuan itu, Lia dan tim akhirnya melakukan survei guna pendokumentasian motif tikar Natuna yang ada sekaligus upaya mensosialisasikan hasil kepada jajaran eksekutif Pemerintah Daerah natuna dalam bentuk presentasi mengangkat potensi tikar Natuna menuju pelestarian hasil karya anak bangsa dan perlindungan hukum.
Menurut Lia, untuk bisa mengumpulkan motif-motif tikar itu dirinya perlu menghabiskan waktu tiga minggu. Selama itu, desainer asal Yogyakarta ini harus mendatangi satu pengrajin ke pengrajin lainnya yang ditempuhnya dengan transportasi perahu.
"Saya juga mendatangi masyarakat setempat yang diyakini masih menyimpan tikar dengan motif-motif yang langka," cerita wanita kelahiran Bandung, 21 Juli 1964.
Desainer yang kini bergabung dengan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini mengakui, upaya yang dilakukannya untuk membukukan motif-motif tikar dari Natuna itu adalah sebagai bentuk keprihatinannya terhadap suatu produk asli Indonesia.
"Tujuan saya membuat buku adalah ingin membantu mempatenkan produk tradisional yang sudah ratusan tahun dimiliki masyarakat Natuna. Jangan sampai kita keduluan lagi dengan negara tetangga, karena selama ini tikar Natuna sudah banyak ?dikonsumsi' Malaysia," jelas Lia yang berencana akan memperkenalkan buku berjudul "Motif Tikar" secara resmi pada Mei mendatang.
Peraih Citra Kartini Award (2001) ini menjelaskan, tikar yang dijual oleh masyarakat Natuna adalah tikar-tikar yang terbuat dari tanaman pandan. Dan biasanya, pandan yang sering digunakan adalah pandan yang berjenis berduri mengkilap, yang mana tanaman ini banyak didapatkan di daerah Serasan.
"Di Natuna sendiri ada tiga jenis padan. Pandan berduri, pandan tidak berduri, dan pandan berduri mengkilap. Yang sering dipakai memang pandan berduri mengkilap, namun jenis pandan berduri dan pandan tidak berduri juga dipakai dalam pembuatan tikar, namun jumlahnya tidak begitu banyak," tutupnya.
0 komentar: