Sekapur Sirih

Bismillahirahmanirrahim,
Assalamualaikum wr wb,

Dengan Bismillah membuka kata
Menyampaikan niat kami yang ada
Jika mendapat ridho Yang Kuasa
Hendak belajar berkata - kata

Saya jemput tuan dan puan
Beserta segala sanak saudara
Kiranya sudi keblog yg ada
Memberi restu beserta doa

Cari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cari olehmu akan guru
Yang boleh taukan tiap seteru

Cari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan

(Gurindam Dua Belas pasal keenam)

Salam sejahtera buat semua tuan dan puan, selamat datang di blog pribadi kami,mohon kritik dan saran karna masih dalam pembelajaran, mari berbagi pengalaman diberbagai hal, kecil telapak tangan nyiru kami tadahkan....

Wassalam

Wapres: Soal Exxon-Natuna, Obama Tidak Ada Urusan

JAKARTA — Barack Obama boleh menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44. Namun, soal ExxonMobil yang pernah memegang hak pengelolaan atas Natuna D Alpha di Natuna, Kepulauan Riau, Presiden Obama tidak ada urusan.
"Boleh-boleh saja kalau (Exxon) mau dompleng. Akan tetapi, kita yang menentukan. Jadi, kita tidak terpengaruh dengan Obama jadi Presiden, " tandas Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla saat di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (20/1) siang ini.

Sebelumnya, pers menanyakan komentar Wapres Kalla dengan pelantikan Presiden AS Barack Obama terkait dengan Blok Natuna D Alpha yang masih diklaim oleh perusahaan AS, ExxonMobil, sebagai "hak pengelolannya" untuk eksplorasi minyak dan gas (migas). Sebab, biasanya perusahaan-perusahaan AS "sering" mendompleng.

Menurut Wapres Kalla, hak pengelolaan Blok Natuna D Alpha sejak 9 Januari 2005 sudah berakhir dan menjadi sepenuhnya milik Indonesia. "Presiden Yudhoyono sudah menunjuk Pertamina untuk mengelolanya dan diminta mencari mitra. Jadi, ExxonMobil itu seperti perusahaan kontrak karya lainnya yang akan menjadi mitra Pertamina mengelola Blok Natuna D Alpha. (kompas




28 Januari 2009 Kategori: oleh: Granat Natuna :  

2 komentar:

On 28 Januari 2009 pukul 21.35 , Anonim mengatakan...

Obama mau ngebor langsung sumur minyak di Natuna kale

 
On 28 Januari 2009 pukul 21.41 , Planet Jingga mengatakan...

Kenapa Exxon tahun 2006 (dalam tahun berjalan)
membukukan keuntungan sekitar Rp 360 trilyun dan
pejabat Indonesia kaya-raya sementara mayoritas rakyat Indonesia hidup miskin?

Jawabannya :

Kalau orang sekarang sibuk membahas soal pengelolaan
dan pembagian hasil Blok Cepu, bagaimana pengilangan
minyak di Natuna? Selama duabelas tahun terakhir,
Indonesia tak memperoleh sepeserpun hasil eksplorasi
gas di kepulauan Natuna, Riau. Pemasukan yang diterima
pemerintah hanyalah berasal dari pajak. Bagaimana ini
bisa terjadi?

Hanya kebagian pajak
Kegelisahan itu awalnya dilontarkan anggota DPR dari
fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie. Dalam rapat
kerja dengan pemerintah pekan lalu, Alvin Lie
mengungkapkan, sejak dua belas tahun terakhir,
Indonesia tak memperoleh sepeserpun bagi hasil
eksplorasi gas di Natuna, dari Exxon Mobil.


Alvin Lie: "Ternyata blok natuna penghasil gas di
Indonesia sejak tahun 1994 dikelola Exxon dengan basic
agreement seharusnya berakhir januari 2005. Dengan
pola bagi hasil Indonesia 0 Exxon 100 %. Data ini
sahih karena keluar dari mulut kepala BP Migas
sendiri."


Informasi ini dibenarkan Kepala Badan Pengelola Minyak
dan Gas Bumi, Kardaya Warnika. Ia menjelaskan, Blok
Natuna sejak tahun 1980-an dikelola oleh perusahaan
Esso yang kini berubah menjadi Exxon. Pada saat itu
pemerintah masih mendapatkan hasil dari pengelolaan
Blok Natuna. Tetapi sejak tahun 1994, Esso dan
Pertamina mengubah kontrak dengan penguasaan
sepenuhnya oleh Esso. Sementara pemerintah pusat hanya
kebagian pajak saja.


Kardaya Warnika: "Lalu setelah itu kontrak itu
disetujui dengan suatu kontrak yang diberi judul basic
agreement. Antara pertaminan dengan Esso. ExxonMobil
saat itu bernama Esso. Di dalam basic agreement itulah
diatur pembagiannya. Apa yang saya baca dalam kontrak
itu begitu. Kita hanya mendapatkan dari pajak. Tidak
betul bahwa kondisi itu mulainya dari 2004 tapi dari
tahun 1994. Pada waktu Basic Agreement ditandatangani.
Jadi tidak betul split itu tahun 2004, tapi sejak
tahun 1994."


Bagi hasil dengan Riau
Kalau Jakarta kebagian pajak, tidak demikian halnya
dengan Riau. Pemerintah provinsi Riau, mendapatkan
bagi hasil dari pengelolaan ladang gas ini. Bagi hasil
Exxon dengan pemerintah Riau ini baru berhenti saat
kabupaten Natuna memilih masuk dalam provinsi baru
Kepulauan Riau, yang terbentuk tahun lalu.


Juru bicara Pemerintah Provinsi Riau, Zulkarnaen:
"Natuna juga dapat dana bagi hasil minyak di sana,
atau gas di sana. (untuk natuna seberapa besar bagi
hasilnya?) ya itu ..saya kurang anu..kalau angka tuh
kurang hafal. Yang jelas kalo itu mengacu pada
undang-undang itu pasti dapat pak. Pasti dapat. (Nah
sejak tahun 2004, pemda Riau masih dapat bagi hasil
dari Exxon?) masih, masih pak, masih. 2004, 2005
sekarang yang baru kita serahkan juga masih dapat dari
dana bagi hasil minyak. Tapi kalau yang Natuna saya
gak tau lagi pak. Karena sudah pisah sama kita."


Zulkarnaen menambahkan, dana bagi hasil pengelolaan
ladang gas Natuna baru bisa dinikmati sejak tahun
1999. Sebelum undang-undang otonomi daerah
diberlakukan, pemprov Riau, kata Zulkarnaen hanya
kebagian tak lebih dari satu persen.


Kontraknya sangat aneh
Sementara Pengamat Perminyakan Kurtubi menilai kontrak
yang diberlakukan di ladang gas Natuna ini sangat
aneh. Dalam sejarahnya, tidak pernah ada model macam
itu dalam eksplorasi migas. Lazimnya, eksplorasi gas
alam cair oleh kontraktor asing harus melalui bagi
hasil dengan pemerintah. Biasanya pemerintah mendapat
bagian 60 persen, sementara 40 persen menjadi hak
kontraktor asing.


Kurtubi: "kalau di migas gak ada kontrak model seperti
itu. Yang ada adalah contract production sharing.
Tidak dikenal itu pemerintah hanya dapat pajak saja.
yang ada contract production sharing di mana
kontraktor itu mengeluarkan biaya untuk mencari dan
memproduksikan gas, nanti setelah berproduksi
biaya-biaya tersebut di cover dalam pola post recovery
persisnya dibagi antara kontraktor dengan pemerintah.
Nah aneh kalau pemerintah cuma dapat pajak saja."


Bantahan ExxonMobil
Tapi Pernyataan ini ditolak oleh Juru Bicara
ExxonMobil Deva Rahman. Menurut Deva, kontrak macam
itu dimungkinkan karena karakteristik Blok Natuna yang
tergolong unik dibandingkan kawasan lain. Di Blok
Natuna 70 persen dari kandungannya terdiri dari CO2.
Oleh karena itu untuk mengelola Blok tersebut
diperlukan teknologi dan biaya tinggi. Ia membantah
tudingan bahwa isi kontrak tersebut curang. Ia
menjelaskan, pemerintah dan para pejabat telah
menyepakati skema itu.


Deva Rahman: "Pemerintah memang membuat pengaturan
seperti itu karena blok Natuna memiliki kandungan CO2
yang sangat tinggi. Sehingga pemerintah membuat
keputusan untuk kontrak melalui skema tadi. Itu memang
sudah disetujui oleh pemerintah dan pemerintah yang
menyetujui itu."


Menggiurkan
Gas yang terkandung di blok Natuna memang menggiurkan
banyak pihak. Lapangan gas yang dikenal dengan nama
teknis D-Alpha ini ditemukan pada tahun 1973. Lapangan
ini memiliki kandungan hidrokarbon yang diperkirakan
sebesar 46 triliun kaki kubik. Dalam kontrak awal
ExxonMobil memiliki bagian 76 persen dari Production
Sharing Contract (PSC) di lapangan gas Natuna,
sedangkan Pertamina sebesar 24 persen. Kontrak awal
yang ditandatangani tahun 1985 itu semula berakhir
pada 9 Januari 2005. Namun karena adanya perubahan
perjanjian dasar, maka diberikan perpanjangan hingga
2007.


Kasus Aceh
Apa yang terjadi di Natuna ternyata juga terjadi di
daerah lain. Kontrak yang merugikan pemerintah juga
terjadi dalam eksplorasi gas alam cair di Aceh.
Lagi-lagi kontrak ini melibatkan pemerintah dan
ExxonMobil. Juru bicara Bidang Energi Jaringan
Advokasi Tambang JATAM Andre S. Wijaya mengatakan:


"Di Aceh misalnya mereka membuat kontrak jangka
panjang, itu sudah jelas menguntungkan mereka.
Pemerintah atau negara ini harus mengalah dengan
kehilangan dua pabrik pupuk, satu pabrik kertas di
Aceh karena kelangkaan gas di sana. Kalau kita melihat
jauh lebih dalam lagi kita kehilangan lowongan
pekerjaan bagi ribuan karyawan pabrik-pabrik tadi. Di
sisi lain gas yang seharusnya menerangai Aceh Utara
justru lari ke Taiwan, ke Jepang."


Peninjauan ulang
Berbagai kontrak kerjasama macam ini jelas tidak masuk
akal dan merugikan negara. Karena itu kelompok Aktivis
Pro Demokrasi meminta kepada pemerintah meninjau ulang
seluruh kontrak karya pertambangan di Indonesia. Tentu
saja berikutnya para pelaku yang terlibat dalam
kontrak kerjasama yang merugikan negara tersebut,
harus segera tersentuh tangan hukum.


NB:
sama satu perusaahaan aja pemerintah kita ketar ketir apalgi presiden obama, pls deh.

 





Tragedi Laut Serasan